Minggu, 14 Desember 2008

Gratifikasi (1)  

Dalam KUHP banyak pasal yang mengancam terhadap tindakan penggelapan termasuk yang ditujukan juga pada para pejabat, bahkan khusus untuk yang terakhir ini, pejabat, ditambah dengan pasal pemberatannya. Tentunya pejabat publik ataupun para penyelenggara negara.

Namun semenjak tahun 1960, pada era pemerintahan Bung Karno dirasakan perlunya aturan perundang undangan khusus diluar KUHP tentang “penggelapan” yang dilakukan oleh penyelenggara negara karena mendesaknya kondisi waktu itu. Keluarlah undang undang no. 24 th 1960 dengan mencabut 2 peraturan sebelumnya dari Penguasa Perang Pusat yang satu dari Kepala Staf AD tanggal 16 April 1950 no. Prt/Peperpu /013/1958, dan lainnya dari Kepala Staf AL tanggal 17 April 1958 Nr. Prt/Z.I/I/7  

Mari kita cermati bagaimana definisi korupsi telah mengalamai perubahan seiring dengan semakin canggihnya perbuatan ataupun tindakan koruptor dalam melibas uang negara.

Yang disebut tindak pidana korupsi menurut versi undang undang no. 24 th 1960 ialah :

a. tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya dri sendiri, orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan lelonggaran kelonggaran dari negara atau masyarakat.
b. perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan dan yang dilakukan dengan meyalahgunakan jabatan atau kedudukan, 
c. kejahatan kejahatan tercantum dalam pasal 17 s/d pasal 21 peraturan ini dan dalam pasal 209, 210. 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP

Undang undang anti korupsi yang terbaru adalah tentang gratifikasi yang mendefinisikan korupsi tidak lagi sebagai jenis tindak kejahatan yang seragam namun cakupan semua tindak pidana tidak terkecuali asalkan memenuhi unsur pidana berikut ini :
• perbuatan melawan hukum; 
• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; 
• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; 
• merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
dapat dikategorikan tindak pidana korupsi.

Gratifikasi adalah hadiah pemberian uang., atau dikenal dalam bahasa Belanda dengan ejaan yang sama yaitu gratifikasi. 


Gratifikasi adalah salah satu bentuk dari tindak pidana korupsi, yang sampai saat ini telah menjerumuskan negara kita dalam kancah kemiskinan dan keterbelitan hutang sampai trilyunan rupiah.

Sebenarnya cocok juga bila korupsi dikatakan telah membuat negara kita goyah, karena korupsi secara harfiah diartikan dengan busuk, menggoyahkan dan kotor dalam bahasa aslinya ( arti corruptio dalam bahasa latin adalah busuk, rusak, menyogok menggoyahkan, memutarbalik, )

Dari data yang disiarkan oleh Tranparancy Internasional menyebutkan negara kita adalah negara terkorup didunia peringkat lima.

Bila kita cermati dari data diatas sebenarnya negara kita telah berusaha lebih dari lima decade berupaya memberantas korupsi, namun nyatanya upaya tersebut tidak mengurangi baik kualitas maupun kuantitas besaran korupsi bahkan justru malah membuahkan dampak yang lebih mengerikan, yaitu kita hidup dinegara dengan tingkat korupsi tertinggi didunia. Sungguh mengerikan.

Selama lima decade memberantas korupsi rupanya malah merupakan pembelajaran bagi koruptor untuk bertindak lebih licin. Sehingga tidak menutup kemungkinan korupsi akan dijadikan juga komoditi politik oleh para pejabat dan calon pejabat penyelenggara negara. 

Jumat, 06 Juni 2008

PHK Masal

( 1 )

Ancaman Peradi sudah nampak sebelum keberangkatan delegasi ke Jakarta, tepatnya saat Pra Kongres di Hotel Majapahit jalan Tunjungan Surabaya Saat itu tersebar isu bahwa Peradi melalui iklannya di harian Kompas telah memberikan warning siapapun advokad anggota Peradi yang menghadiri Konggres Advokad nantinya di Jakarta baik secara langsung ataupun tidak langsung akan dipecat dari keanggautaannya di Peradi.

Namun nyatanya ancaman itu tidak berlaku bagi para advokad yang menghendaki adanya konggres advokad sebagai realisasi undang-undang advokad. Hadir dalam konggres sebanyak 3000 orang lebih, yang kesemuanya berikrar siap dipecat dari Peradi.

Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Assidiqi condong ke Peradi secara pribadi, sedangkan wakilnya di Mahkamah Konstitusi lebih adil dengan menyatakan pada saat masa transisi 2 tahun maka diserahkan pada organisasi advokad sedangkan pada saat selebihnya harus ada konggres advokad, yang berarti peran Peradi sudah selesai dan harus ada wadah tunggal yang dibentuk oleh para advokad sendiri.

Dalam kesempatan lain setelah terlaksananya konggres, pak Jimly, mungkin setelah melihat animo yang begitu besar dari para advokad yang menghadiri konggres advokad ( KAI ), terkait dengan ancaman PERADI yang ingin mencabut izin advokat bagi anggotanya yang ikut KAI. beliau menyikapinya dengan mengatakan “Kan tidak lucu kalau separuh anggota Peradi izinnya dicabut,” ujarnya di gedung MK, Selasa (3/6). “Orang bisa dipecat sebagai anggota. Tapi tak bisa dipecat dari profesinya,”. Pernyataan ini dapat dilihat di Hukumonline tanggal 4 Juni 2008.

Nah bila pemecatan ini benar terlaksana akan ada PHK masal bagi anggota Peradi yang ikut KAI ( Konggres Advokad Indonesia ).

Senin, 02 Juni 2008

azas legalitas

Asas Legalitas

Kalimat pertama dalam KUHP berupa irah-irah yang tentunya wajib diikuti oleh para hakim dan penuntut umum berbunyi:

“ Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. “ Biasanya dinamai Azas Legalitas.

Inilah azas dalam pelaksanaan pidana di Indonesia, yang diadopsi dari rekomendasi regulasi hak asasi manusia, yang populer diucapkan dengan “ nullum delictum nulla poena sine praevia lege “ ( dalam bahasa Indonesia berbunyi - tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dulu. )

Pertama sekai kalimat ini diperkenalkan oleh sajana hukum Jerman bernama von Feuerbach. Memang nampaknya sederhana apa yang disampaikan von Feuerbach , akan tetapi marilah kita cuplik sedikit dari UU no. 39 th 1999 atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia pasal 16 ayat 2 yang berbunyi: “ Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukan. “

Kalu kita cermati maka ada beberapa hal yang dikategorikan seseorang dapat dipidana menurut azas legalitas:

1. tidak boleh dituntut untuk dihukum
2. ataupun dijatuhi pidana
3. adanya aturan perundang-undangan yang sudah ada
4. tidak berlaku surut.

Namun bagaimana bila itu dilanggar oleh hakim ataupun penuntut umum?

Rasanya sulit dalam sistem hukum kita meskipun ada Komisi Yudisial dan Komisi Pengawas Kejaksaan.

Prosesnya dan realitasnya sulit diaplikasikan dilapangan.

Catatan ini dibuat karena saya sendiri mendapati kasus sebagaimana disebutkan diatas dan nyatanya budaya ewuh pakewuh ( langgam pergaulan dalam tatanan suku Jawa yang berarti “ penuh toleransi dan menjaga silaturahmi lintas korps “ ) masih menyelubungi para penegak hukum.

Rabu, 14 Mei 2008

Mulai Diari

14 Mei 2008

Hari ini saya selesai sidang sebuah perkara pidana - sebagai seorang advokad tentunya. Karena terdorong oleh masukan masukan yang meyimpang dari kewajibam hukum saya, terispirasilah untuk memulai membuat blog diinternet.

Tentunya dengan harapan memperoleh komentar yang positip dari sesama insan, tak perduli apakah itu insan hukum atau awam sekalipum Saya tunggu!