Jumat, 06 Juni 2008

PHK Masal

( 1 )

Ancaman Peradi sudah nampak sebelum keberangkatan delegasi ke Jakarta, tepatnya saat Pra Kongres di Hotel Majapahit jalan Tunjungan Surabaya Saat itu tersebar isu bahwa Peradi melalui iklannya di harian Kompas telah memberikan warning siapapun advokad anggota Peradi yang menghadiri Konggres Advokad nantinya di Jakarta baik secara langsung ataupun tidak langsung akan dipecat dari keanggautaannya di Peradi.

Namun nyatanya ancaman itu tidak berlaku bagi para advokad yang menghendaki adanya konggres advokad sebagai realisasi undang-undang advokad. Hadir dalam konggres sebanyak 3000 orang lebih, yang kesemuanya berikrar siap dipecat dari Peradi.

Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Assidiqi condong ke Peradi secara pribadi, sedangkan wakilnya di Mahkamah Konstitusi lebih adil dengan menyatakan pada saat masa transisi 2 tahun maka diserahkan pada organisasi advokad sedangkan pada saat selebihnya harus ada konggres advokad, yang berarti peran Peradi sudah selesai dan harus ada wadah tunggal yang dibentuk oleh para advokad sendiri.

Dalam kesempatan lain setelah terlaksananya konggres, pak Jimly, mungkin setelah melihat animo yang begitu besar dari para advokad yang menghadiri konggres advokad ( KAI ), terkait dengan ancaman PERADI yang ingin mencabut izin advokat bagi anggotanya yang ikut KAI. beliau menyikapinya dengan mengatakan “Kan tidak lucu kalau separuh anggota Peradi izinnya dicabut,” ujarnya di gedung MK, Selasa (3/6). “Orang bisa dipecat sebagai anggota. Tapi tak bisa dipecat dari profesinya,”. Pernyataan ini dapat dilihat di Hukumonline tanggal 4 Juni 2008.

Nah bila pemecatan ini benar terlaksana akan ada PHK masal bagi anggota Peradi yang ikut KAI ( Konggres Advokad Indonesia ).

Senin, 02 Juni 2008

azas legalitas

Asas Legalitas

Kalimat pertama dalam KUHP berupa irah-irah yang tentunya wajib diikuti oleh para hakim dan penuntut umum berbunyi:

“ Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. “ Biasanya dinamai Azas Legalitas.

Inilah azas dalam pelaksanaan pidana di Indonesia, yang diadopsi dari rekomendasi regulasi hak asasi manusia, yang populer diucapkan dengan “ nullum delictum nulla poena sine praevia lege “ ( dalam bahasa Indonesia berbunyi - tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dulu. )

Pertama sekai kalimat ini diperkenalkan oleh sajana hukum Jerman bernama von Feuerbach. Memang nampaknya sederhana apa yang disampaikan von Feuerbach , akan tetapi marilah kita cuplik sedikit dari UU no. 39 th 1999 atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia pasal 16 ayat 2 yang berbunyi: “ Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukan. “

Kalu kita cermati maka ada beberapa hal yang dikategorikan seseorang dapat dipidana menurut azas legalitas:

1. tidak boleh dituntut untuk dihukum
2. ataupun dijatuhi pidana
3. adanya aturan perundang-undangan yang sudah ada
4. tidak berlaku surut.

Namun bagaimana bila itu dilanggar oleh hakim ataupun penuntut umum?

Rasanya sulit dalam sistem hukum kita meskipun ada Komisi Yudisial dan Komisi Pengawas Kejaksaan.

Prosesnya dan realitasnya sulit diaplikasikan dilapangan.

Catatan ini dibuat karena saya sendiri mendapati kasus sebagaimana disebutkan diatas dan nyatanya budaya ewuh pakewuh ( langgam pergaulan dalam tatanan suku Jawa yang berarti “ penuh toleransi dan menjaga silaturahmi lintas korps “ ) masih menyelubungi para penegak hukum.