Jumat, 16 Juli 2010

ALAT BUKTI DALAM PROSES PERDATA

Barusan seorang klien menunjukkan surat keterangan jual beli tanah ( yang menurut anggapan saya ) kurang valid.

Sebenarnya apa saja yang dinamakan alat bukti dalam hukum acara perdata?

Karena republik tercinta ini belum mampu membuat hukum acara perdata sendiri maka sesuai dengan pasal peralihan uu dasar kita untuk mengisi kekosongan hukum ya terpaksa kita pakai dulu aturan acara perdata zaman baheula, yatu Reglemen Indonesia Yang Dibaharui, biasa disingkat RIB atau HIR ( yang dipebaharui ).

Alat Bukti

Untuk memulainya baiklah kita lihat pasal 163 HIR yang menyebutkan : " Barang siapa mengatakan mempunyai barang suatu hak, atau mengatakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain haruslah membuktikan hak itu atau adanya perbuatan itu. "

Secara populer pasal ini dapat diartikan / dibaca dengan pengertian " siapa yang mendakwakan dialah yang harus membuktikannya "

Untuk mendukung para pihak terhadap dalil dan landasan hukum yang diajukan dalam proses pemeriksaan sidang perdata ( juga dalam sidang yang lain termasuk pidana, perceraian, militer dan tata usaha negara tentunya ) dibutuhkan alat bukti yang valid. Dalam Pasal 164 HIR disebutkan ada 5 macam alat bukti yaitu :

1. Surat, diatur dalam Pasal 165 – 169
2. Saksi, diatur dalam Pasal 169 – 172
3. Persangkaan, diatur dalam Pasal 173
4. Pengakuan, diatur dalam Pasal 174 – 176
5. Sumpah, diatur dalam Pasal 177

Meskipun beberpa akhli menerangkan bahwa tidak semuanya dalam pasal 164 HIR menjadi alat bukti ( persangkaan persangkaan dan sumpah ) namun karena hukum acara perdata menyatakan sebagaimna dicantumkan dalam HIR saya berpandangan tetap sebagai alat bukti dalam proses perdata.

Tidak semua hal yang didalilkan baik oleh Penggugat maupun Tergugat harus dibuktikan. Sesuatu yang sudah menjadi pengetahuan secara umum, artinya hal hal yang diketahui oleh khalayak umum pasti ada / terjadi tidak perlu dibuktikan lagi, yang dalam proses hukum biasa disebut dengan notoire feiten. Sebagai contohnya kita ketahui bersama semua kantor / dinas pemerintah pada hari minggu pasti libur.

Rabu, 07 Juli 2010

SATPOL PP DIPERSENJATAI

Berita tentang satpol pp akan dipersenjatai banyak menyita perhatian masyarakat karena beberapa kasus yang terjadi dilapangan menurut opini pemerhati dan beberapa tokoh sudah terlalu banyak mengindikasikan penyimpangan.

Namun Mendagri beralasan bahwa peraturannya sudah ada jauh sebelum kasus Priok terjadi

Jadi mendagri bukan merencanakan untuk mempersenjatai namun akan memberlakukan aturan hukum tentang mempersenjatai satpol pp. Kalau dilihat dari aspek hukum memang bisa saja pemberlakukan aturan mempersenjatai satpol itu.

Namun etiskah itu?

Diantara alasan dan alibi penentangan terhadap wacana mempersenjatai satpol pp adalah karena tanpa senjata saja satpol pp sudah sedemikian beringas ( ingat kasus priok ), bagaimana pula bila mereka memegang senjata api ataupun jenis senjata yan lain?

Lagian pula mereka bukan melawan warganegara ( baca rakyat pinggiran ) namun mereka melawan pedagang kaki lima dan warga negara yang dipinggirkan namun terpaksa karena himpitan tekanan ekonomi harus meniti hidup di lahan hijau di kota kota yang gemerlap dengan taburan janji fatamorgana.

Bagaimana bila pola kerja satpol pp itu dipersenjatai dengan moral yang menumbuhkan empathy terhadap warga pinggiran? Bukankah ini juga senjata yang ampuh?

Bagaimana jika hasil sitaan tidak dibuang begitu saja, misalkan diadakan lokasi khusus semacam rubasan ( rumah barang sitaan negara )

Bila ini terjadi maka para pedagang kaki lima yang mungkin hanya mempunyai barang komoditi ( baca barang dagangannya ) cuma itu itu saja satu satunya, akan sedikit terobati dengan dikembalikannya dagangannya lagi. Kalau toh kemudian barang itu dimusnahkan tentunya akan membuat nestapa keluarganya yang mengharapkan nafkah dari hasil penjualannya yang cuma itu.

Namun semuanya itu masih tergantung pada perda masing masing daerah, yang tentunya mempunyai versi dan aplikasi sendiri.

Solusi terhadap keberadaan pkl memang salah satunya adalah tindakan yang tegas dan komperhensip dari satpol pp. Namun masih diperlukan juga solusi yang lain selain solusi hukum, misalnya solusi kemanusiaan dari daerah ( baca pemda ) dan pemerintah pusat, baik menyangkut kesejahteraannya maupun lokasinya.

Berita terakhir dari Jawa Pos ( Kamis 8 Juli 2010 ) mendagri menyatakan tentang mempersenjatai satpol pp ditunda namun tidak dicabut. Mereka dalam operasional hanya dibekali senjata pentungan dan senjata kejut.

Minggu, 04 Juli 2010

Membeli Umur (3)

KAWN GANTUNG

Masalah kawin gantung, yang hampir mirip dengan kasus membeli umur namun juga amat berbeda dari segi opini masyarakat, karena Kawin gantung itu masih memberikan pilihan pada mempelai wanita bila dia telah dewasa kelak.

Perbedaan lainnya kawin gantung dapat saja para mempelai dibawah umur semua, artinya calon pengantin baik lelaki maupun wanitanya masih belum dewasa, ataupun salah satu saja yang belum dewasa.

Umumya para orang tua calon mempelai ( para calon besan ) saling sepakat bahwa meskipun telah dilangsungkan perkawinan antara anak mereka dan sah, namun tidak boleh bergaul layaknya suami isteri.


Karena kesepakatan itulah maka diberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih nantinya bila telah dewasa, apakah akan dilanjutkan hubungan sebagai suami isteri ataupun cukup kawin gantung saja. ( artinya mereka sepakat cerai ).

Pendapat ulama membolehkan perkawianan gantung ini, atau dapat juga disebut dengan perkawinan dini, dengan pokok bahasan karena kawin gantung tidak mengubah status hukum bagi kedua belah pihak.

Kawin gantung dapat dilakukan dengan cara sirri ataupun dicatat diregister KUA, artinya dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat nilah setempat. Cuma permasalahannya yang bakalan timbul dapatkah permohonan ijin perkawinannya diperoleh kalau seandainya kedua mempelai masih dibawah umur. Lagi pula apakah khuluq ( perjanjian untuk cerai dikelak kemudian hari ) dapatkah dilaksanakan?

Sementara kita cukupkan dulu masalah kawin gantung ini didini.

Kamis, 01 Juli 2010

Membeli Umur ( 2 )

Masih seputar membeli umur

Masihkan anak dibawah umur harus dilindungi bila orang tuanya dengan rela melepaskan untuk melangsungkan pernikahannya?

Apakah kiranya anak dapat menentukan jalan hidupnya sendiri dengan tanpa intervensi orang tuanya ?

Tentunya semuanya harus dicermati secara kasuistis, artinya sampai dimana batasan dan rambu rambu yang memberikan keleluasaan kepada anak untuk menentukan nasibya, termasuk terhadap keluarganya yang akan dibina.

Ingat kasus di Semarang antara syech Puji yang banyak mengandung pro dan kontra.

Perkawinan anak yang belum dewasa tentu harus melalui proses ijin orang tua bakal calon mempelai wanita di Pengadilan Agama bila akan dilaksanakan. Demikian itu sudah menjadi amanat undang undang.

Masalahnya tentu akan terpikulkan pada niat yang sebenarnya apakah perkawinan itu menjadi suatu paksaan bagi si anak, karena desakan ekonomi, tipu daya orang tua sendiri ataupun karena keinginan masing masing pihak untuk menjalin kehidupan bersama dalam perkawinan yang sah.

Dititik persimpangan inlah nanti akan terjadi, apakah ijin orang tua bakal calon mempelai wanita merupakan jenis membeli umur atau memamg proses permohonan ijin orang tua di Pengadilan Agama adalah salah satu proses guna membentuk keluarga sebagaimana diamanatkan undang undang dan moral serta agamanya.

Pelanggaran ataupun penyimpangan disini seyogyanya mendapatkan sanksi

Sanksi itu dapat saja berupa sanksi moral ataupun pidana. Sebenarnya sanksi moral akan lebih banyak membawa nestapa bsgi pelakunya, namun sepertinya masyarakat akan lebih dipuaskan dengan adanya pemberlakuan sanksi pidana.