Sabtu, 21 Mei 2011

Hak Diam dalam Pemeriksaan/ Penyidikan

Berbicara masalah hak hak Tersangka yang hilang tak dapat lepas dari hak diam yang erat kaitannya dengan miranda rule.  
Hak milik Tersangka / Terdakwa yang satu ini akan menjadi buah simalakama bagi para advokad. Karena dibutuhkan ketegaran untuk mempertahankan hak kliennya.  Bagaimana bila mereka para Tersangka  / Terdakwa tidak didampingi Penasehat Hukum?
Sudah banyak peraturan perundang undangan dan hukum positip yang lain dinegeri kita, namun apakah hal tersebut sudah berlaku dilapangan ?

Jangan kecewa dulu, namun paling tidak sudah ada undang undangnya, hanya kita perlu sosialisasi untuk aplikasinya. Sosialisasi bukan hanya ditujukan pada masyarakat umum / awam, namun tidak kalah pentingnya juga harus kepada para penegak hukum meskipun hanya sekedar mengingatkan kembali bahwa ada aturan, hak dan peringatan tentang miranda rule.

Sekedar ilustrasi munculnya miranda rule dimulai ketika seorang Tersangka yang bernama Ernesto Miranda diajukan ke Pengadilan dinegeri Uncle Sam ( USA ) setelah di”paksa” penyidik menandatangani pengakuan bahwa dia telah menculik dan memperkosa kekasihnya pada tahun 1966. Oleh Pengadilan dia dinyatakan bersalah ( sesuai dengan hukum AS), namun pengacaranya banding karena sebelum diperiksa Ernesto Miranda tidak diberitahukan hak haknya oleh Penyidik diantaranya hak untuk diam, hak untuk menghubungi pengacaranya, hak untuk didampingi dan berkonsultasi dengan pengacaranya. Putusan Mahkamah Agung Amerika mengabulkan banding dari Ernesto Miranda.


Scientific Investigation.                               


Apakah kasus yang sedemikian itu hanya terjadi negeri Paman Sam ? Tentu saja tidak. Kita dapat mengikuti laporan dari harian online Sumut Pos dalam halaman focus tanggal 13 January 2010 ( arsip Sumut Pos ) yang intinya liputan persidangan tentang tiga orang anak dibawah umur :


“ ….  yaitu  BM (15), SS (16) dan PS (15) penduduk Desa Labujior, Toba Samosir dipaksa oleh oknum polisi di Polsek Bandar Pulau untuk mengakui perbuatan tindak pidana pencurian uang Rp1 juta, handphone dan laptop milik seorang wakil rakyat alias anggota DPRD Asahan. Dalam proses lidik (penyelidikan), si oknum polisi menekan, menakuti, menggertak hingga menganiaya anak itu lalu dipaksa mengaku. Pada 12 Januari 2010 lalu, anak-anak itu ditangkap saat sedang bermain bola. Kasus ini pun disidangkan di pengadilan dengan bukti yang minim. Namun di sisi lain, oknum-oknum polisi itu diadukan ke Bidang Propram Poldasu.Atas kasus ini, Kapoldasu Irjen Pol Oegroseno sampai meminta maaf kepada masyarakat lewat media massa, atas tindakan anak buahnya di lapangan saat menyelidiki, menyidik kasus. “


Dimasa yang lalu ( zaman orde baru ) ingat juga kasus Sengkon dan Karta yang baru terungkap setelah mereka menjalani hukuman di penjara lebih dari 10 tahun. Masih ingat kasus terbunuhnya Aldo? Dengan adanya pengakuan Ryan, ternyata pihak penyidik salah tangkap.


Kalaupun di Indonesia diberlakukan miranda rule maka mulailah babak baru dalam penyidikan untuk Tersangka.


Memang untuk para Tersangka yang mampu membayar pengacara hal yang sedemikian itu bukanlah merupakan halangan ataupun kesulitan. Namun bagaimana dengan para pencuri kelas teri, pencopet, pencuri sandal ataupun pencuri ayam? Tentunya masih merupakan pertanyaan yang membutuhkan jawaban tersendiri.


Beberapa kendala tidak dilaksanakannya miranda rule secara sefektif diantaranya karena:
1.     Berawal dari Terdakwa / Tersangka sendiri karena tidak fahamnya sebagai  Tersangka / Terdakwa bahwa dia punya hak diantaranya hak untuk diam, hak untuk menghubungi pengacaranya, hak untuk didampingi dan berkonsultasi dengan pengacaranya
2.     Penjabat hukum ( Penyidik / Penuntut Umum ) sengaja tidak memberikan / menyampaikan hak-hak Tersangka / Terdakwa sebelum dimulainya penyidikan, meskipun secara terulis di BAP hal yang sedemikian itu ada tersebutkan.
3.     Ada upaya dari pihak penyidik untuk merekayasa BAP.


Kebebasan  untuk tidak menjawab pertanyaan yang diajukan dalam BAP penyidik dilindungi oleh KUHAP, sebagaimana diatur dalam Pasal 175 KUHAP yang menegaskan bahwa jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan utnuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.


Salah satu alasan bagi terdakwa untuk tidak menjawab pertanyaan adalah diajukannya pertanyaan yang menjebak atau menjeratnya. Terdakwa atau melalui kuasa hukumnya dapat melakukan protes kepada penyidik ataupun majelis hakim sebagaimana dimaksudkan Pasal 166 KUHAP yang menegaskan “Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi”.


Jaminan bahwa Tersangka / Terdakwa dalam menyampaikan keterangan harus aman dan bebas dari segala kekangan, paksaan, dan perasaan takut dapat dilihat dalam pasal 52 KUHAP yang berbunyi “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.


Lantas apa kaitannya dengan kehadiran penasehat hukum ataupun advokad pada saat dimulainya pemeriksaan / penyidikan? Hal ini tidak lain karena advokad ataupun penasehat hukum setidaknya dapat berperan melakukan kontrol, sehingga proses pemeriksaan terhindar dari penyiksaan, rekayasa ataupun paksaan lain, sejak dari proses penyidikan  sampai pemeriksaan di pengadilan.


Wacana investigati dengan mengindahkan miranda rule maka pihak penyidik akan memasuki tahapan scientific investigation, yang diantaranya dalam memperoleh alat bukti untuk suatu tindak pidana terhindar dari rekayasa, paksaan dan ancaman yang lain, termasuk tindakan dalam penahanan, penggeledahan dan penangkapan.


Posting ini juga pernah saya nukilkan di blog saya yang lain, di http://www.wayuh.wordpress.com. Silahkan dikunjungi juga

Tunggu posting selanjutnya……




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar dan kritik membangu anda.

Thank` a lot with your comment.