Jumat, 29 April 2011

Birokrasi

Terkadang kita harus bijak dalam menyikapi hidup. Dalam hal ini tidak berarti kta harus mengalah terhadap fenomena kejanggalan dan perilaku yang kurang elegan dari  lingkungan kita.
Barusan  saya ditolak untuk mengmbil surat / akte cerai dari klien yang menguasakan pada advokadnya, saya sendiri, untuk mengambil akte cerainya. Penolakannya tidak proposional karena hanya tata letak dari format surat belaka.
Kira kira beberapa saat yang lalu dalam persidangan lain memang pernah sesama rekan advokad mengeluh pada saya tentang perlakuan birokrat yang “alergi” terhadap advokad dan bebarapa insan lain, terutama terhadap pers dan LSM.
Kalau toh seandainya kesalahan itu masalah nama, ataupun nomer perkara wajar harus ditolak surat saya namun kalau tentang format dan tata letak saya kira hanyalah sekedar ingin menunjukkan kewenangan dan sok belaka. Sebagai seorang biokrat yang berwennag lah, begitu kira kira.
Memang menyebalkan sekali. Toh setiap kantor punya selera sendiri untuk pengamanan surat suratnya, termasuk kantor saya.

Majelis Hakim sendiri dalam setiap awal persidangan pasti menanyakan “ apakah semua sudah tidak ada perubahan dalam gugatan yang diajukan? Atau paling tidak ditanyakan kepada pihak Pengugat apakah tetap dalam materi gugatan?
Namun sikap ramah dan terbuka dari majelis hakim tidak selamanya diikuti oleh petugas bagian putusan. Ya mungkin sekedar untuk menunjukkan bahwa mereka juga punya wewenang.
Tapi coba disimak pemberitaan beberapa media dimana seorang tersagka punya lebih dari satu KTP. Bukankah ini juga salah satu simbol kewenangan birokrasi, meskipun bertentangan dengan aturan hukum?
Mau tahu kan ancaman hukuman pemalsuan surat?
Pasal 263 ( Pemalsuan Surat )
( 1 )Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal denagn maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain seolah olah surat tersebut isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
( 2 ) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian
Nah  kalau bicara tentang birokrasi lagi, agar keluar KTP aspal tersebut kira kira sudah berapa biji birokrasi yang terlewati? Bagaimana mungkin birokrasi tersebut dapat dilewatkan begitu saja? Itulah sekedar carut marut pelaksanaan aturan hukum di negeri kta ini.

Mungkin tidak berlebihan bila seorang petnggi hukum memberikan pernyataan bahwa hukum di Indonesia sudah kehilangan nyawa.   Hukum sudah kehilangan nyawa?

Tunggu posting selanjutnya tentang birokrasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar dan kritik membangu anda.

Thank` a lot with your comment.